Setelah terbunuhnya Brigadir Jenderal
Mallaby, penggantinya (Mayor Jenderal Mansergh) mengeluarkan ultimatum
yang merupakan penghinaan bagi para pejuang dan rakyat umumnya. Dalam
ultimatum itu disebutkan bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia yang
bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang
ditentukan dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas. Batas
ultimatum adalah jam 6.00 pagi tanggal 10 November 1945.
Ultimatum tersebut ditolak oleh Indonesia. Sebab, Republik Indonesia
waktu itu sudah berdiri (walaupun baru saja diproklamasikan), dan
Tentara Keamanan Rakyat (TKR) sebagai alat negara juga telah dibentuk.
Selain itu, banyak sekali organisasi perjuangan yang telah dibentuk
masyarakat, termasuk di kalangan pemuda, mahasiswa dan pelajar.
Badan-badan perjuangan itu telah muncul sebagai manifestasi tekad
bersama untuk membela republik yang masih muda, untuk melucuti pasukan
Jepang, dan untuk menentang masuknya kembali kolonialisme Belanda (yang
memboncengi kehadiran tentara Inggris di Indonesia).
Pada 10 November pagi, tentara Inggris mulai melancarkan serangan
besar-besaran dan dahsyat sekali, dengan mengerahkan sekitar 30.000
serdadu, 50 pesawat terbang, dan sejumlah besar kapal perang.
Berbagai bagian kota Surabaya dihujani bom, ditembaki secara
membabi-buta dengan meriam dari laut dan darat. Ribuan penduduk menjadi
korban, banyak yang meninggal dan lebih banyak lagi yang luka-luka.
Tetapi, perlawanan pejuang-pejuang juga berkobar di seluruh kota,
dengan bantuan yang aktif dari penduduk.
Pihak Inggris menduga bahwa perlawanan rakyat Indonesia di Surabaya
bisa ditaklukkan dalam tempo 3 hari saja, dengan mengerahkan
persenjataan modern yang lengkap, termasuk pesawat terbang, kapal
perang, tank, dan kendaraan lapis baja yang cukup banyak.
Namun di luar dugaan, ternyata para tokoh-tokoh masyarakat yang terdiri
dari kalangan ulama’ serta kyai-kyai pondok Jawa seperti KH. Hasyim
Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah serta kyai-kyai pesantren lainnya
mengerahkan santri-santri mereka dan masyarakat umum (pada waktu itu
masyarakat tidak begitu patuh kepada pemerintahan tetapi mereka lebih
patuh dan taat kepada para kyai) juga ada pelopor muda seperti Bung
Tomo dan lainnya. Sehingga perlawanan itu bisa bertahan lama,
berlangsung dari hari ke hari, dan dari minggu ke minggu lainnya.
Perlawanan rakyat yang pada awalnya dilakukan secara spontan dan tidak
terkoordinasi, makin hari makin teratur. Pertempuran besar-besaran ini
memakan waktu sampai sebulan, sebelum seluruh kota jatuh di tangan
pihak Inggris.
Peristiwa berdarah di Surabaya ketika itu juga telah menggerakkan
perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk mengusir penjajah dan
mempertahankan kemerdekaan. Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat
yang menjadi korban ketika itulah yang kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar